KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehinggah kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berisi Review Buku berjudul “Kebudayaan Indis” yang alhamdulilah tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memperluas pengetahuan pembaca maupun kami sebagai penyusun tentang psikologi lintas budaya,entosentrisme dalam Psikologi,transmisi budaya dan perkembangan individu dan semua hal yang berkaitan dengan kebudayan indis, yang kami susun dengan mengamati dari beberapa sumber. Kami mencoba memaparkan kandungan-kandungan dari kebudayaan indis secara menyeluruh, meskipun demikian kami menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar bisa menjadi pelajaran dan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen psikologi lintas budaya yang telah memberi kesempatan untuk membuat makalah ini dan kepada teman-teman yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya demi menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunana makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1
BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………………………………2
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………………….2
2.2 Pembahasan……………………………………………………………………………….....3
BAB III. PENUTUP…………………………………………………………………………...14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….iii
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi lintas-budaya merupakan kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Psikologi lintas-Budaya mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi, ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan.
1.2 Tujuan
Tujuan makalaj ini adalah menyempurnakan tugas mata kuliah psikologi lintas budaya dan memperluas pengetahuan tentang kebudayaan indis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
1. Psikologi
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: (Psychē yang berarti jiwa) dan (-logia yang artinya ilmu) sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan prilaku yang penerapannya pada manusia dan hewan.
2. Psikologi Lintas Budaya
kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilaidan membedakannya dengan kebudayaan lain.
4. Enkultrasi
Proses dimana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya
5. Konformitas
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial saat individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
6. Kognisi Sosial
bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku tersebut.
7. Nilai-nilai
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
8. Intelegensi
Intelegensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Minat terhadap intelegensi sering kali difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual.
9. Estetika
Estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
10. Persepsi Pola dan Gambar
Persepsi mengenai sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka terhadap pola dan gambar guna memberikan arti bagi lingkungan mereka
2.2 Pembahasan
1. Etnosentrisme
Semua artefak kebudayaan seperti monografi, kesusteraan, kisah perjalanan, lukisan, foto, sketsa, artefak, dan seni bangunan indis dapat menunjukan kemampuan segolongan masyarakat Indonesia dalam mengambil unsur-unsur budaya asing tanpa meninggalkan budaya tradisionalnya.
2. Transmisi budaya dan perkembangan individu
Kehadiran berbagai bangsa di Kepulauan Nusantara memperkaya kebudayaan Indonesia. Kehadiran bangsa Eropa, khususnya Belanda, yang kemudian menjadi penguasa, menimbulkan kebudayaan campuran yang disebut kebudayaan Indis.
3. Awal Perkembangan dan Pengasuhan
Sebelum melahirkan, keluarga Indis yang mampu sudah menyiapkan baju kanak-kanak, ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur bayi. Upacara penting setelah kelahiran adalah pemberian nama dan upacara pembaptisan di gereja. Orangtua dapat juga memanggil atau mengundang pendeta untuk membaptis si anak di rumah.
4. Enkulturasi dan Sosial
Pembuatan rumah di Batavia kuno tidak sepenuhnya tepat seperti berbentuk tempat tinggal rumah Belanda kuno di negeri induknya. Melainkan sudah adanya percampuran antara seni bangunan Barat dengan lingkungan dunia Timur yang sangat asing. Bentuk jendela ditutup rotan yang dianyam. Cara ini semula diperoleh dari bangsa Portugis dengan meniru karya orang Pribumi. Penggunaan anyaman rotan sebagai penutup jendela semacam ini merupakan suatu kompromi antara bentuk jendela terbuka dengan terali dari besi batangan dan bentuk tertutup yang menggunakan petak-petak kaca. Rumah-rumah Belanda di Batavia ditunjukkan dengan adanya telundak (stoep) untuk hubungan antartetangga yang pada masa dulu mempunyai arti sosial penting. Telundak digunakan sebagai tempat bertemunya antarkeluarga dan tetangga pada sore atau malam hari, mereka bergerombol berdatangan untuk merokok dengan pipa cangklong, atau minum-minum, dan makan-makanan kecil.
5. Perkembangan Moral
Kehidupan masyarakat Hindia Belanda umumnya terpisah dalam kelompok-kelompok dengan batas-batas yang ketat. Batas-batas tersebut antara lain warna kulit, kelas sosial serta asal keturunan. Ada kelas majikan yang berkulit putih dan pekerja atau budak yang berwarna. Selain itu dalam lapangan kerja seks, lazim para pejabat pemerintahan memiliki dan memelihara nyai atau gundik yang dapat diambil dari anak atau isteri kuli pekerja atau dari kampong orang pribumi.
6. Konteks Sosial
Hasil budaya dari masa Hindia Belanda oleh sebagian orang ada yang dianggap sebagai suatu yang negative, misalnya: merendahkan derajat orang kulit berwarna, bahkan mendidik jiwa menjadi feudal dan sempit. Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukkan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional jawa. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial masyarakat Pribumi pada umumnya,memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus didalam kompleks yang wilayah khusus pula. Salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama status seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan berperilaku, dan mental sebagai ciri golongan sosial indis.
7. Konformitas
Tentang ragam hias dan seni ukir, keterangan residen Pekalongan yang dikutip Rouffaer pada 1891 ini sangat menarik
”Seni ukir kayu dipekalongan mundur karena orang Pribumi beralih pandangan. Mereka tidak lagi menggunakan ukir kayu untuk menghias bangunan rumahnya, tetapi membangun rumah-rumahnya dari batu dan beratap genteng, atau mengumpulkan uangnya untuk membangun rumah batu. Mereka juga belajar dari orang Eropa tentang berbagai hal, antara lain sering bepergian naik dos a dos, membeli lampu gantung dan sebagainya yang dulu tidak dikenalnya. Dalam hal membangun perumahan, mereka ada kemajuan tetapi tidak demikian halnya dalam karya seni.” Hal ini dikarenakan masyarakat Pribumi yang ikut-ikutan menggunakan gaya kehidupan ala Eropa, sehingga mereka bisa dikatakan melakukan konformitas terhadap bangsa asing yang sebenarnya telah menjajah mereka.
8. Nilai-nilai
Perkembangan industri rupanya telah membuat keindahan karya seni bangunan jadi terlupakan. Ini diduga karena tidak adanya kontrol yang ketat pada kehidupan sosial manusia kala itu, sehingga banyak arsitek tidak lagi terbiasa menerapkan ragam hias pada bangunan. Masalah ini terjadi karena adanya perubahan cara pandang terhadap nilai-nilai yang ada dimasyarakat. Masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mereka, sehingga jangan heran apabila menemukan bangunan yang mewah dan megah yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sangat menawan. Ini dikarenakan dalam membangun tempat tinggalnya, kenyamanan, kekuatan, dan keindahan bangunan sangat mereka perhatikan. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang karya-karya arsitektur Indis tetap kokoh berdiri walaupun telah melewati usia lebih dari satu abad. Dan yang lebih mengesankan adalah bangunan tersebut tetap serasi bersanding dengan bangunan-bangunan modern yang berdiri disekitarnya.
Pada masa kejayaan VOC dan Pemerintahan hindia belanda upacara kematian diselenggarakan dengan mewah dan menelan biaya sagat besar. Upacara yang berhubngan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan. Bagi masyarakat Batavia, upacara kematian adalah upacara yang penuh gengsi dan kemegahan. Jasad orang yang meninggal dibaringkan di dalamnya dengan pakaian bagus beserta semua tanda kebesarannya. Surat kematian biasanya juga ditandai dengan hiasan pinggir warna hitam. Surat ini khusus untuk dikirim kepada sahabat kenalan di luar kota. Surat berita duka ini dicetak mewah, lebih besar ukurannya dan digunakan tinta emas untuk hiasan serta tulisan dengan ongkos cetak yang mahal. Peti jenazah dihias dengan sangat bagus, berupa hiasan ukiran dan tulisan indah berisi puji-pujian dengan hiasan lambing berwarna keperakan. Dan suatu keagungan bila pemakaman dilakukan pada saat hari sudah gelap. Iring-irngan pengantar jenazah datang di pekuburan pukul enam sore hari. Jumlah lilin dan obor kadang mencapai 130 buah sehingga member suasana megah, tetapi juga biaya yang besar.waktu itu harga lilin dan minyak cukup mahal. Setelah sampai di rumah duka, diadakan makan bersama untuk keluarga orang yang meninggal, terutama pemikul jenazah dan sanak saudara. Untuk tanda kasih kepada orang-orang yang ikut bersusah payah dalam upacara, keluarga orang yang meninggal member kenangan berupa kotak tempat tembakau dari perak bertuliskan nama orang yang meninggal . biaya pemakaman memang sangat besar, tapi pekaman mewah tetap diadakan demi citra seorang pejabat yang kaya.
9. Kognisi Sosial
Di indonesia, khususnya Jawa, hiasan dibagian atap rumah kurang mendapat perhatian, kecuali pada bangunan-bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura dan candi). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunya arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial maupun kepercayaan
10. Perilaku Gender
Para perempuan indis sangat menggemari karya-karya sastera Indis (Indische belletries) pada masa kekuasaan Hindia Belanda sebagai bahan bacaan harian untuk mengisi waktu atau membunuh kejenuhan, khususnya bagi isteri pejabat yang sehari-hari mendampingi suami yang ditugaskan di pelososk kota yang sepi dan terpencil.
Pendidikan bagi anak –anak perempuan agaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pendidikan Eropa kurang meresap dan dianggap kurang penting bagi anak-anak perempuan karena perempuan sekedar alat pendamping suami dalam bergaul dengan para pejabat Belanda, seperti waktu ada perjamuan, menerima tamu, dan sebagainya. Peran ibu sebagai pendidik anak-anak tetap dianggap penting meskipun banyak diserahkan kepada pembantu.
11. Ciri Sifat(traits) Antara Budaya
Ada perbedaan yang sangat menyolok antara rumah-rumah yang dibangun pada masa awal pemerintahan Hindia Belanda yang terdapat di dalam lingkungan Kastil Batavia dengan yang berada di luarnya. Kelompok perumahan yang berada di luar Kota Batavia disebut pesanggrahan atau landhuizen. Rumah tempat tinggal orang eropa di dalam kastil Batavia mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan yang terdapat di negeri asalnya. Sementara itu landhuizen atau rumah tinggal di luar kastil dibangun dengan lingkungan alam timur yaitu, Pulau Jawa. Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Hal demikian itu juga berlaku bagi bangsa portugis, termasuk juga perempuannya, khususnya para nona. Untuk menggantikan mandi, mereka lebih senang mengenakan pakaian dalam yang tipis.
12. Perluasan Kesadaran (pengalam mistik, meditasi, hypnosis, trance, dsb)
Para sastrawan menceritakan kepercayaan tentang hal-hal gaib, tentang jin-setan, tenung, teluh, obat-obat yang dapat menimbulkan jatuh cinta dan sebagainya. Hal-hal tersebut diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indis.
13. Intelegensi Umum
Pendidikan umum adalah alat penting untuk melatih seseorang agar dapat memegang suatu posisi jabatan dalam suatu status di masyarakat. Pendidikan juga digunakan sebagai kriteria pengangkatan suatu jabatan dalam pemerintahan maupun swasta. Penggajian seseorang juga didasarkan pada penyesuaian fungsi dan pendidikan. Singkatnya, pendidikan Barat merupakan daya tarik dan idaman sehingga orang menghargainya tanpa mengingat asal-usul seseorang.
14. Gaya Kognitif
Proses belajar dan penyampaian pengetahuan serta nilai-nilai secara turun- menurun, dari mulut ke mulut, berperan sangat penting. Setiap anggota masyarakat tunduk pada adat. Banyak peraturan dan kaidah-kaidah dalam masyarakat tradisional masih bercorak kaidah kesusilaan, kepercayaan, dan keagamaan. Adanya kaidah-kaidah tersebut menjadikan orang takut tertimpa akibat di dunia maupun di akhirat apabila melakukan pelanggaran.
15. Perkembangan Bahasa
Sejak akhir abad ke -18 sampai awal abad ke -20, bahasa melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Pembauran ini berawal dari bahasa komunikasi yang digunakan oleh keluarga dalam lingkungan. “indische landshuizen”, yang selanjutnya digunakan oleh golongan indo-Belanda. Bahasa ini kemudian berkembang di Batavia. Ada dugaan, Pada awal abad ke ke-20, perkembangan bahasa melayu pasar sudah mantap. Bahasa Melayu pasar berawal dari bahasa komunikasi dalam lingkungan keluarga Indis, terutama yang tinggal di rumah-rumah pesanggrahan (Indische Landhuizen). Bahasa itu kemudian juga digunakan oleh golongan Indo-Belanda. Bahasa Melayu pasar, yang tumbuh di pinggiran Kota Batavia ini kemudian berkembang dan akhirnya diadaptasi sebagai bahasa komunikasi kaum Betawi sampai sekarang.
16. Universal Dalam Bahasa
Karya-karya sastera marjinal atau pinggiran semula menggunakan bahasa Melayu-Betawi karena memang diawali di Batavia. Kemudian, sastera semacam itu berkembang di daerah atau kota yang penduduk peranakan cinanya cukup banyak, seperti Surabaya, Semarang, dan Bandung. Sesuai dengan tempat surat kabar atau majalah itu terbit, yaitu di Surabaya dan semarang, bahasa Melayu bercampur dengan bahasa Jawa. Di Bandung bahasa poetjoek bercampur dengan bahasa Sunda. Karya-karya bahasa dan sastera marjinal bercirikan melayu betawi atau melayu Jawa, pada masa kemudian memang secara luas digunakan oleh keturunan Cina atau Indo-Belanda.
17. Bilingualisme
Kehadiran bangsa Belanda di Indonesia yang dilanjutkan dengan percampuran darah dan budaya, memunculkan sekelompok masyarakat yang berdarah campuran.
Anak-anak yang beribu Jawa dan berayah Belanda, biasanya lebih banyak menerima pengaruh budaya dari pihak ibu. Hal itu disebabkan karena mereka besar dalam lingkungan orang jawa, serta menyaksikan tingkash laku orang jawa. Di samping itu, anak-anak tersebut setiap hari juga mendengar bahasa Belanda dari ayahnya, tetapi mereka mengucapkan dengan lafal dan logat jawa. Sementar itu, sebagian anak-anak yang ibunya berkebangsaan Eropa atau Indo, mereka pun sehari-hari juga mendengar percakapan bahasa Jawa(misalnya dari para pembantu dan masyarakat sekelilingnya), yang kemudian dicampur dengan bahasa belanda berlafal Jawa.
18. Universalitas Emosi
Para penguasa yang merasa lemah terhadap saingannya sesama bangsa Pribumi, berusaha meminta bantuan pasukan Kompeni. Apabila berhasil, Kompeni mendapatkan imbalan berupa wilayah, atau sejumlah uang, fasilitas, dan sebagainya. Pada masa terjadinya perlawanan melawan Kompenidi berbagai tempat, juga diperlukan adanya pasukan atau serdadu sewaan, misalnya pada Perang Diponegro (1825-1830). Pemasok terbanyak untuk pasukan bayaran ini ialah dari jawa, disusul dari Maluku, Bali, dan Makassar. Dalam peristiwa tersebut Kompeni ikut campur atau diminta untuk ikut campur . keberhasilan penguasa Belanda dalam hal ini antara lain ialah keunggulan angkatan laut dan angkatan daratnya. Akibat adanya peperangan di berbagai tempat, Kompeni membutuhkan banyak serdadu. Selain serdadu Eropa, tenaga yang lazim dikerahkan adalah prajurit Pribumi, dan jumlah prajurit Pribumi lebih banyak dari pada Prajurit Eropa.
19. Emosi sebagai pernyataan budaya
Barang-barang karya seni rupa gaya Indis yang terdiri dari seni lukis, seni patung (relief) dan seni kerajinan, (termasuk seni jauhari, yaitu kerajianan membuat perhiasan dari emas, perak dan batu mulia) tidak banyak menjadi koleksi museum-museum di Indonesia. Akibatnya, cucu bangsa Indonesia kurang mengenal berbagai karya seni dan seni jauhari nenek moyangnya, khususnya dari masa abad ke-18 sampai dengan abad ke-20. Beruntung bahwa berbagai seni pertunjukkan (drama) dan seni music (seperti keroncong), tetap hidup dan berkembang.
20. Persepsi Pola dan Gambar
Arsitektur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan. Arsitektur sendiri dianggap sebagai perpaduan antara karya seni dan pengetahuan tentang bangunan. Dengan demikian, arsitektur juga membicarakan berbagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa. Namun kebanyakan rumah dari bangsa pribumi terbuat dari bambu (gedheg), beratap daun pohon palem atau rerumputan (atep, welit) yang dikerjakan secara kasar, diantaranya bahkan tanpa serambi depan atau belakang. Perbedaan yang mencolok ini dapat disebabkan oleh penjajahan atau penghisapan habis-habisan oleh penjajah. Sedangkan Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.
Karya pelukis Basuki Abdullah penuh akan arti-arti simbolik yang dilukiskan pada 1935. Bunda Maria dilukiskan mengenakan pakaian seperti perempuan pribumi jawa pada umumnya, berbaju kebaya panjang dan kain batik bermotif parang rusak. Baju kebayanya berwarna gelap dan tertutup rapat, berhiaskan peniti bermata batu mulia yang mewah dan telinganya mengenakan subang Jawa yang besar dan bermata. Ia juga mengenakan kerudung dan semacam selendang yang dekoratif berploi-ploi dari kain sutra halus transparan menutupi kepalanya, seperti yang lazim dikenakan khususnya perempuan muslim di Jawa Tengah. Kepala dan tubuhnya dikelilingi sinar aureol berselang-seling, memusat ke arah bawah yang diberi warna gelap, kedua telapak tangan dikelilingi sinar terang. Kedua kakinya yang telanjang terletak di atas bulan sabit dengan sinar yang memancar kebawah. Menerangi pemandangan alam di bawahnya. Gambaran ini dimaksudnkan oleh pelukis sebagai wilayah Muntilan dan sekitarnya, tempat Pastor van lith dan Hoevenaars untuk pertama kali menanamkan ajaran katolik di wilayah itu.
21. Rekognisi
Mengenal kembali suatu hasil seni bangunan rumah dari masa silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan jaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari bangunan aslinya atau reruntuhan yang ada , dapat pula melalui benda-benda lain. Adapun benda-benda lain berupa karya lukis, karya sastra, foto gravir, sketsa, relief atau benda lain seperti maket yang dibuat oleh museum atau lembaga-lembaga penelitian. Sebagai contoh, tentang bentuk bangunan rumah Jawa zaman Majapahit atau zaman Jawa-Hindu, orang dapat melihatnya dari gambar relief candi atau hasil seni sastra seperti Nagara Kerta Gama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Di Candi Borobudur, Prambana dan Panataran terdapat relief yang menggambarkan bangunan rumah pada waktu itu. Galestien meneliti banguna rumah kayu dari relief candi di Jawa Timur. Dari masa Yunani dan Romawi kuno banyak ditemukan relief dan benda pecah belah seperti jambangan, guci, piring, cangkir dengan berhiaskan lukisan berwarna-warni. Selain lukisan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, benda keramik dari masa Yunani dan Romawi kuno ada juga yang berlukiskan bangunan umum dan lukisan rumah tinggal. Melalui karya seni lukis, Fotografi, relief dan karya sastra, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabot milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia.
22. Estetika-estetika Psikologis
Banyak orang Belanda dan Indo yang berkeinginan untuk dapat bernostalgia dan melihat kembali Hindia Belanda. bangunan-bangunan gaya Indis yang memiliki nilai historis, arkeologis, dan estetis serta mewakili zamannya, patut dilestarikan, diteliti, dan diselamatkan. Perabotan rumah tangga atau meubelair yang dibuat Hindia Belanda berbahan dasar kayu jati berkualitas baik, dengan ukiran motif bergaya Jawa, atau bercampur dengan motif bergaya eropa. Perabotan rumahtangga merupakan hasl karya para pemahat Jawa, antara lain dari Jepara, cirebon, Madura, Solo, dan Kudus. Sejak zaman prasejarah abad pertengah dan lasik, orang telah memberi orenamen atau ragam hias pada benda miliknya, seperti misalnya pada bejana, piring, meja, lemari dan sebagainya. Ragam hias yang biasa mereka buat adalah gambar tokoh, binatang ataupun manusia yang sedang tertawa, menyeringai da sebagainya. Gambar atau hiasan merupakan suatu ekspresi jiwa, yang kemudian menghiasi objek agar tampak indah, bernilai magis atau simbolik.
Beberapa abad lalu arsitektur Eropa identik dengan gaya Renaisans, Barok, Empire dan sebagainya. Gaya arsitektur tersebut banyak menerapkan ragam hias atau ornamen. Ragam hias dan ornamen memang mampu menonjolkan ekspresi alami pada bangunan. Dengan adanya ornamen, orang-orang yang melihatnya pun akan dapat merasakan keindahan. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam.Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka dipasanglah berbagi macam hiasan, baik hiasan yang kontruksional atau yang tidak.
23. Enkulturasi dan Sosialisasi
Masalah percampuran dua unsur budaya, khususnya seni dan agama, misalnya seperti yang terjadi di ganjuran, Yogyakarta. Gereja Ganjuran digunakan sebagai contoh karena memunculkan bentuk-bentuk sinkretisme Katolik (Barat) dan Budaya jawa. Tokoh yang bernama Dr. Joseph Schmutzer memegang peranan penting dalam usaha tersebut. Philip van Akheren, misalnya, menyebutkan bahwa keberhasilan sinkretisme mengakibatkan Gereja Kristen di Jawa dijadikan “ajang” kebudayaan jawa yang hendak mengadakan sosialisasi budaya dan agama. Greja mempertahankan budaya lokal jawa, antara lain gamelan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan, kidung-kidung Jawa, figur-figur raja jawa dalam pewayangan dalam berbagai atributnya yang dipadukan dengan figur-figur keagamaan Kristiani sebagai penggambaran visual tokoh suci agama Nasrani.
24. Nilai-nilai dan Motif kerja
Kebudayaan Indis ada yang secara positif berperan penting dalam perkembangan kebudayaan Indonesia modern, yaitu sistem pendidikan dan seni (seperti seni drama, seni musik), kebiasaan menghargai waktu, serta kemajuan berbagai bidang teknologi dan ilmu pengetahuan
Perkebunan kopi tepi jalan Tanggerang menuju Batu Ceper dibuat tempat pembudidayaan ulat sutra. Usaha ini diprakarsai oleh pemilik tanah Zwaadecroon. Kepompong ulat sutra yang merupakan bahan utama pembua kain sutra dihasilkan disini. Inilah pertama kali tercipta kain sutra di Hindia Belanda, yang kemudian terkenal di Eropa. Hal yang demikian semula belum pernah terjadi.
25. Ekologi, Populasi, dan Kesehatan
Orang Belanda juga telah memahami perlunya memperhatikan kesehatan dengan menyesuaikan diri terhadap alam Pulau jawa. Untuk melindungi dari panas, dibuat dinding tembok yang tebal dari batu alam atau batu bara. Untuk menangkal udara basah atau lembap, dibuat tempat tinggal bertingkat tinggi di atas permukaan tanah.
Pada rumah yang berukuran besar terdapat bangunan-bangunan samping yang digunakan untuk gudang, tempat menyimpan kayu bakar, tendon air minum, beras, minyak dan sebagainya. Biasanya bangunan rumah samping (bijgebouwen) bertingkat, ruang tingkat atas yang biasanya digunakan untuk tempat tinggal para budak, tidak dikenal di Belanda. Para budak tinggal diatas bangunan rumah samping. Mereka yang tinggal disini kesehatannya tidak terurus dengan baik. Hal demikian juga terjadi pada ruang-ruang pembantu di rumah induk milik penguasa Belanda yang juga jarang dijaga kebersihannya. Dengan tidk adanya saluran pembuangan limbah yang sulit diadakan mengakibatkan kesehatan yang buruk.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi Lintas Budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.
Banyak sekali aspek-aspek dari psikologi lintas budaya yang berhubungan dengan kebudayaan indis. Dari segi alkulturime, bahasa, sikap kerja, kognisi sosial dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar